Warisan geologi merupakan
dasar dari pengembangan Taman Bumi (Geopark),
yang mana Danau Toba merupakan warisan geologi dari Kawasan Kaldera Toba yang
merupakan kaldera sangat besar dengan ukuran 30 hingga 100 km. Tinggi reliefnya
mencapai 1.700 meter dan kaldera ini terbentuk dalam beberapa letusan.
Pengukuran endapan-endapan
vulkanik beraupa tuf di sekitar Danau Toba menunjukkan bahwa Gunung api Toba
ternyata telah meletus beberapa kali. Paling tua di ketahui dari Tuf Dasit
Haranggaol 1,2 juta tahun lalu (Chesner dkk, 1991), kemudian terjadi juga
letusan pada 840.000 tahun yang lalu (Diehl dkk, 1987), 501.000 tahun yang lalu
(Chesner dkk, 1991), dan letusan terbesar adalah yang terjadi pada 74.000 tahun
yang lalu. Berdasarkan umur letusannya, Chesner dkk (1991) memperkirakan daur
letusan besar terjadi setiap 340.000 sampai 430.000 tahun sekali.
Ilustrasi Kedahsyatan Letusan Gunung Toba |
Tiga letusan/erupsi
gunung api terbesar di dunia pada zaman prasejarah maupun sejarah terjadi di
Indonesia, yaitu erupsi Mega – Kolosal Toba 74.000 tahun yang lalu, erupsi
Tambora 1815 M, dan erupsi Krakatau 1883 M. Letusan Tambora melontarkan
materaial sebanyak 160 km3, menewaskan 91.000 orang. Letusan Krakatau
melontarkan material 18 km3, menewaskan 36.000 orang terutama akibat
tsunami yang dibangkitkan oleh material susulan. Sementara Toba jauh di atas
itu, yang melontarkan 2.800 km3
material dan mungkin menewaskan 90% penduduk bumi saat itu (Ambrose, 1998).
Untuk mengukur
kekuatan ledakan gunung api, para ahli gunung api telah mengembangkan parameter
VEI, Volcanic Explosivity Index. Dari kriteria tersebut, maka erupsi Krakatau
1883 M berada pada VEI = 6 (paroxysmal), Tambora 74.000 tahun yang lalu pada
VEI = 8(megacolosal). Berdasarkan banyak studi, maka frekuensi erupsi dengan
VEI ≥ 6, di seluruh dunia terjadi satu kali dalam 50 tahun,
VEI ≥ 7 terjadi satu kali dalam 450 tahun dan VEI ≥ 8 terjadi satu kali dalam 300.000 tahun lebih. Batas paling
tinggi VEI adalah antara 8 dan 9. Erupsi Toba mungkin merupakan batas itu (
Lockwood dan Hazlett, 2010).
Perbandingan Letusan Gunung Tambora dan Gunung Toba (supervulcano) |
Katastrofi Geologi adalah suatu
proses geologi yang menyebabkan perubahan sangat besar bagi lingkungan bumi dan
penghuninya, ditandai dengan hancurnya lingkungannya, kondisi iklim yang tidak
menunjang bagi kelangsungan kehidupan, sehingga sebagian besar makhluk hidup
mengalami kepunahan dalam skala besar (mass
extinction). Dengan terjadinya erupsi Toba dengan skala megakolosal (VEI =
8) yang terbesar di bumi dalam 28 juta tahun terakhir, maka suatu katastrofi
geologi diperkirakan telah terjadi. Kejadian ini secara definitif disebut
sebagai “Teori Katastrofi Toba”.
Katastrofi Toba terjadi melalui dua cara, yaitu musim
dingin vulkanik (Volcanic Winter) dan
punahnya sebagian besar manusia modern saat itu (Population Bottlenecking) (Gibbons, 1993; Rampino, 1993; Ambrose,
1998). Musim dingin vulkanik terjadi bila banyak abu tersembur masuk ke dalam
atmosfer. Kadar asam belerang pun memasuki atmosfer dan bila abu vulkanik
terinjeksi lebih tinggi ke dalam atmosfer, maka abu vulkanik dan asam belerang tersebut
akan tinggal lebih lama di dalam atmosfer. Kejadiannya bisa selama
berabad-abad, bahkan ribuan tahun, lalu mereka akan menangkis dan mengubah
influks energi matahari ke atmosfer bagian bawah. Manusia modern yang hidup
antara 1815 – 1818 pun menderita akibat letusan Tambora. Bagaimana bila itu
terjadi 74.000 tahun lalu dan berasal dari sebuah erupsi megakolosal yang
puluhan kali lebih kuat dari Tambora? Mungkin benar bahwa telah terjadi suatu
kepunahan massa.
Mekanisme Magma Toba Terhadap Musim Dingin |
Letusan Toba 74.000 tahun yang lalu
telah menghasilkan 3 milyar ton abu halus dan aerosol H2SO4 dan
SO2 yang terlontar setinggi 27 – 37 kilometer menginjeksi atmosfer
dan sangat signifikan mengurangi transmisi sinar matahari ke permukaan bumi
(Rampino dan Self, 1992; Chesner dkk, 1991). Diperhitungkan bawah transmisi
sinar matahari saat itu hanya 0,001-10%. Menurunnya daya terima sinar matahari
ini telah menyebabkan temperatur menurun 3 – 5 0C. Saat itu zaman es
sedang menjelang, dan letusan Toba diyakini telah mempercepat datangnya zaman
es ini. Toba juga telah melepaskan sebanyak 450 milyar ton air yang naik sampai
stratosfer dan dapat mengubah gas belarang yang dilontarkan Toba menjadi 1-10
milyar ton aerosol H2SO4. Posisi Toba di wilayah tropis
juga membuatnya lebih efisien untuk abu dan gas dari Toba memasuki
stratosfer di kedua belahan bumi. Mengenai
hal ini para ahli umumnya sepakat bahwa letusan megakolosal Toba telah memicu
atau mempercepat musim dingin sesuai siklus Geologi, mereka hanya berbeda
pendapat di mekanisme terjadinya musim dingin vulkanik dan tingkat penurunan
temperatur, seperti yang didiskusikan oleh Oppen Heimer (2002) dan Robock dkk
(2009).
Kemungkinan terjadinya penciutan
populasi manusia akibat erupsi megakolosal Toba pertama kali ditemukan oleh
Gibbons (1993). Pendapat ini kemudian segera di sokong oleh Rampino dan Self
(1993). Teori bottleneck ini kemudian
dikembangkan oleh Ambrose (1998) dan Rampino dan Ambrose (2000). Menurut para
pendukung teori genetic bottleneck,
antara 50.0000 – 100.000 tahun yang lalu populasi manusia mengalami penurunan
yang sangat drastis, dari sekitar 100.000 individu menjadi sekitar 10.000
individu (Gibbons, 1993; Amborse, 1998). Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa
semua manusia yang hidup sekarang, meskipun sangat bervariasi, diturunkan dari
populasi yang sangat kecil antara 1.000 – 10.000 pasangan sekitar 70.000 tahun
yang lalu. Setelah genetic bottleneck dan pemulihan kembali, diferensiasi ras populasi
manusia terjadi dengan cepat. Oleh karenanya diajukan pendapat bahwa Toba telah
menyebabkan ras-ras modern berdiferensiasikan secara mendadak hanya sekitar
70.000 tahun yang lalu dari pada secara berangsur selama satu juta tahun.
Terjadi musim dingin vulkanik dan
zaman es segera karena letusan Toba dapat menjawab suatu paradoks tentang asal
afrika buat manusia, yaitu: bila kita semua berasal dari afrika (out of africa) mengapa kita semuanya
tidak mirip afrika? Karena musim dingin vukanik dan zaman es yang segera telah
mengurangi populasi sampai tingkat cukup rendah untuk meneruskan efek nenek
moyang, lalu terjadi aliran genetik dan adaptasi lokal menghasilkan perubahan
cepat pada populasi yang selamat, yang menyebabkan manusia-manusia di seluruh
dunia terlihat begitu berbeda. Dengan kata lain, Toba telah menyebabkan ras
modern manusia terdiferensiasi secara mendadak (Ambrose, 1998).
Danau Toba Warisan Geopark Kaldera Toba |
Demikian beberapa aspek tentang
Toba, tentang sejarah geologi, tektonik dan erupsi katastrofiknya pada 74.000
tahun yang lalu, tentang efeknya bagi iklim dunia dan akibatnya atas katastrofi
biologi berupa penciutan jumlah manusia. Mengunjungi tempat-tempat dengan
fenomena geo-histori di Indonesia yang menarik sangat bermanfaat untuk
meningkatkan pengetahuan tentang tempat tersebut. Hal ini akan semakin membuat
kita takjub atas warisan geo-histori terutama yang ada di Indonesia.
Refensi:
- Chesner, 2011. The Toba Caldera Complex.
- Chesner dkk, 1999. Eruptive History of Earth's Largest Quaternary Caldera (Toba, Indonesia) Clarified
- Rampino & Self, 1992. Volcanic Winter and Accelerated Glaciation and Following The Toba Super Eruption
- Geo Magazine Volume 2 Nomor 4, Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar